Jumat, 31 Mei 2013

Arifin Purwakananta: Indonesia Masih Butuh Banyak RS Nonprofit yang Melayani

Sumber: detikNews
by Nograhany Widhi K 
Selasa, 19/02/2013

Jakarta - Kasus bayi Dera Nur Anggraeni yang meninggal karena tidak dapat pelayanan rumah sakit dengan alasan kamar penuh membuat publik geram. Sentimen publik lebih menilai penolakan rumah sakit itu sebagian besar karena faktor finansial dan terkesan komersial. Nah, perlu lebih banyak RS nonprofit di Indonesia ketimbang yang cari untung. Bagaimana konsep RS nonprofit ini?

Gagasan RS nonprofit ini dilempar Direktur Dompet Dhuafa (DD) Arifin Purwakananta di twitternya, @purwakananta. Bahkan RS nonprofit ini sudah didirikan DD setahun lalu di Parung, Bogor, dengan nama Rumah Sehat Terpadu (RST).

"Satu gagasan di mana rumah sakit hospital tempat di mana masyarakat mendapat layanan. Pendirian RS atau hospital didorong, diniatkan tidak sebagai bisnis yang mencari keuntungan yang disetor pada pendiri, pemilik. Tapi seperti sebuah lembaga sosial di mana RS didirikan tidak untuk mencari keuntungan tapi melayani. Bukan profit yang dicari, tapi benefit yang didorong," kata Arifin saat berbincang dengandetikcom.

Berikut wawancara lengkap dengan Arifin Purwakananta yang juga menjabat sebagai Ketua Humanitarian Forum Indonesia dan President Association of Fundraising Profesional (AFP) Indonesia pada Selasa (19/2/2013):

Bisa dijelaskan kembali mengenai konsep RS nonprofit, mengenai skema pembiayaan dan mengumpulkan dana operasionalnya, termasuk bagaimana cara membayar dokternya?

Satu gagasan di mana rumah sakit atau hospital, tempat di mana masyarakat mendapat layanan kesehatan, pendiriannya diniatkan tidak sebagai bisnis yang mencari keuntungan yang disetor pada pendiri, pemilik. Tapi seperti sebuah lembaga sosial, tidak untuk mencari keuntungan tapi melayani. Bukan profit, tapi benefit yang didorong.

Beda dengan rumah sakit gratis, itu proses yang lain. Ini pada pelaksanaannya bisa gratis bisa bayar. Kalau RS ujung-ujungnya komersial, mesti berharap pasien itu datang terus. Dengan adanya pasien, dia dapat uang. Kalau RS nonprofit, dia pasiennya semakin dikit semakin senang, sehingga uangnya bisa digunakan untuk mengobati yang lain.

Di sana kita juga berpromosi kesehatan, kampanye agar minim memakai obat-obatan karena itu adalah racun, atau memakai obat yang alami atau herbal. Pada pelaksanaannya akan jauh berbeda dengan RS komersial. Praktik miring yang sering ditulis di media, dijejali obat-obatan yang banyak, itu bisa terjadi kalau RS didirikan dengan motif komersial.

DD sejak 2001 sudah ada Klinik Layanan Cuma-cuma (KLC), berbeda dengan nonprofit. Klinik ini gratis, upaya membuat layanan kesehatan terjangkau oleh orang miskin, tidak membebankan biaya pengobatan kepada si sakit yang miskin. Dana kegiatan diambil dari orang kaya yang tidak sakit. Kami menyebutnya jaminan sosial bidang kesehatan, kami gunakan dana zakat untuk membantu orang miskin yang sakit.

Nah ini sudah diatur pemerintah, subsidi asuransi kesehatan, Jamkesmas dan jaringan sosial sudah ada. Masalahnya, RS sendiri yang nonprofit sedikit. Begitu masuk harus ada uang jaminan rumah sakit, ini yang bisnis dan komersial.

Kami sendiri lebih senang memberi contoh daripada demo sana-sini dan kritik sana-sini. Makanya kami mendirikan Rumah Sakit Rumah Sehat Terpadu, karena di UU nggak boleh kalau nggak ada rumah sakitnya. Ini rumah sakit yang didirikan full, seperti RS betulan yang tidak mencari profit.

Menjadi penting ya profit-nonprofit ini. Bayangkan kalau RS didirikan untuk bisnis, targetnya seperti jual panci seperti itu, bermain-main dengan nyawa. Pendiriannya diwarnai hal-hal yang komersial, bukan tidak halal, boleh saja, hanya menjadi tidak pas.

Sebenarnya banyak RS milik pemerintah yang nonprofit. Tapi kalau dia mencari keuntungan itu menjadi salah.

Berapa banyak seharusnya RS Nonprofit yang didirikan di Indonesia?

Seharusnya separuh dari RS yang ada ini nonprofit. Cita-cita saya, seandainya orang miskin ini separuh dari masyarakat kita, yang pendapatannya US$ 2 per hari itu, jumlah RS yang nonprofit itu harusnya separuh dari jumlah RS yang ada. 

Kalau menurut BPS kemiskinan kita 30 persen ya 30 persen itu RS yang nonprofit. Tetap ada layanan bagi orang kaya yang bisa mendapatkan luxury dalam perawatan kesehatan. Namun orang biasa yang miskin, bisa mendapatkan pelayanan kesehatan bukan karena ingin membayar, tapi karena haknya dilayani sebagai warga negara.

Yang saya bicarakan ini fundamental ya. Saya bicara keras pada layanannya. Layanan sudah baik, tapi pendirian RS cari untung, gimana dong? Bayangkan, ada anak orang kaya dan miskin datang ke rumah sakit. Datangnya sama-sama, tapi konsep RS yang mencari untung pasti memilih yang bayar.

Ini fundamental. Tapi saya memang tidak memaksakan semua RS harus nonprofit. Silakan bagi orang-orang yang punya uang yang halal, kaya boleh, mendapatkan pelayanan yang berlebih boleh. Tapi tetap ada pelayanan bagi kebanyakan masyarakat bukan karena punya uang, tapi karena dilayani haknya.

Kalau RST DD di Parung Bogor, bagaimana modelnya?

Kita mula-mula ada Layanana Kesehatan Cuma-cuma (LKC), seperti Puskesmas kecil, ada di banyak kota. Sejak 2 tahun lalu kami bangun Rumah Sehat Terpadu, selesai tahun 2012. RST ini gabungan antara nonprofit hospital dan gratis. 

Profit memang tidak harus gratis, karena bisa dibayar asuransi atau komunitas orang kaya. Tetapi boleh gratis. Prinsipnya, tak perlu mencantumkan keuntungan dalam biaya berobat, biaya dokter dan sabagainya. Tak perlu ada margin keuntungan itu karena tidak diniatkan RS untuk mengambil itu.

Nonprofit itu, coba bayangkan kalau kita datang ke kelurahan, lurah kan tidak cari untung tiap tahun. Seperti gubernur, tidak mencari untung, tapi melayani. Kalau di sini biayanya semua dari dana zakat. 

Bagaimana metode filter penerimaan pasiennnya, pakai Surat Tanda Keterangan Miskin (SKTM) yang dibuat pemerintah atau bagaimana?

Kami punya sistem, ada tim survei. Setelah disurvei kami memberi mereka kartu member. Kalau kartu itu (SKTM) justru malah membantu tim survei kami, karena langsung mengetahui kalau mereka miskin. 

Kalau nggak punya member, kami layani saja. Kami kan nggak boleh nolak pasien. Kalau miskin gratis, kalau merasa Bapak kaya boleh berinfak, bagi yang mampu. Yang merasa punya mobil, motor. Kami tadinya mau layani orang-orang yang mau bayar. Hasil diskusi, kalau ada yang mau bayar, kami akan sulit ajari frontliner kami untuk bisa tersenyum sama orang miskin. 

Apa tenaga dokternya tetap dibayar profesional?

Dokternya tetap dibayar profesional, kaya di NGO ajalah. Harus dibayar betul karena melayani orang sakit betulan. Jangan dokter-dokter yang nilainya jeblok, malah bahaya. Harus berkembang. Kita tidak mungkin dapat SDM yang baik manakala manajemen tidak berpikir profesional.

Sebenarnya sama dengan RS yang lain, hanya kita, orang-orang yang bekerja di RS ini harusnya sadar, lahir karena ingin melayani. 

Apa tak kewalahan tangani pasien?

Masih, masih kewalahan, orang yang datang makin banyak, kapasitas makin terbatas. Jumlah RS seperti kita masih sedikit. Kalau RS seperti ini makin banyak, orang akan bisa memilih. Sekarang masih sendiri, karena itu masih menumpuk di satu titik.

Kalau ke depan saya harap makin banyak orang buat seperti RST maka kita akan senang, masyarakat bisa memilih yang terbaik.

Apa parameter keberhasilan nonprofit hospital ini?

Bukan uang ya, tapi benefit. Bagaimana sistem layanan, banyaknya layanan. Kita misalnya, melihat apakah ada kaitannya antara kerja-kerja promosi kesehatan dengan penurunan biaya kesehatan.

Di Parung, ada sekelompok kita kasih penyuluhan di kampung untuk hidup sehat. Bulan berikutnya, yang sakit ternyata lebih sedikit, kita senang tuh. Ini bedanya antara RS kita dengan RS yang cari laba. 

Kalau RS yang cari laba, senang kalau orang sakit naik. Kalau kami senang yang sakit makin sedikit. Dokternya promosi kesehatan buat sehat, makanya disebut rumah sehat, membuat orang menjadi sehat, bukan menjadi sakit.

Upaya kita membuat komunitas menjadi sehat, ada senam TB, senam diabetes, promosi kesehatan. Agar orang sakitnya berkurang, biaya berobatnya menurun. Misalnya, yang sakit malaria, bulan ini 10 kemudian datang ke RST, bulan depan jadi 2 orang. Biayanya kan jadi jauh lebih murah. 

RS komersial, makin senang kalau yang datang banyak. Seperti tukang cukur, kalau yang cukur banyak malah senang. Kalau pemadam kebakaran beda, kalau bisa jangan ada yang kebakaran.

Dalam twit Bapak disebutkan: 'Rumah sakit saat ini adalah institusi bisnis. Diniatkan utk mencari keuntungan. Disini kesalahan fundamentalnya'. Padahal selama ini orang berpikir bisnis yang paling menguntungkan kalau tidak kesehatan ya pendidikan. Nah sulitkan mengubah paradigma itu?

Sulit, kami ini omongnya belakangan, kerjanya dulu. Dulu pertama kali kami buat KLC, diketawain. 'Ah sampai kapan sanggup bantuin gratis orang-orang'. Kita bilang, kalau zakat masih ada, akan terus jalan.

Di negara maju, RS tidak dianggap sebagai tambang uang, karena warga yang sakit itu dilayani betul. Di negara kita, luar biasa hebatnya, rakyat dibiarkan sendirian.

Di luar negeri contoh RS nonprofit ini apa saja?

Cari saja, ketik 'nonprofit hospital', nanti kan banyak yang keluar. Di Amerika, Hong Kong, negara-negara maju lainnya, negara itu membuat rakyatnya dilayani, saya tidak bilang dimanjakan.

RS profit tetap ada bagi orang-orang kaya, seperti untuk kecantikan atau orang-orang tertentu yang membayar luxury, silakan. Kalau nonprofit hospital, saya kira perlu 30-50 persen dari total RS kita, agar bisa melayani sebanyak mungkin orang miskin.

Jadi intinya, pertama, sistem layanan mikro. Kedua, model pendanaan. Banyak mention ke akun saya bertanya, uangnya dari mana? RS profit itu sebenarnya ada anggarannya, hanya dia ingin mencari keuntungan. Nonprofit tidak mencari untung, tapi melayani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar